Tantangan yang dialami industri tekstil dan produk tekstil (TPT) ternyata belum mereda. Setelah Asosiasi Pertekstilan Indonesia (ASI) menyebutkan 9 perusahaan tekstil (sektor hulu dan antara) terpaksa berhenti beroperasi, kini terungkap juga 188 pabrik garmen (sektor hilir) dilaporkan bangkrut karena tak mampu bersaing dengan produk impor dari China.
Hanya berselang satu bulan, dua informasi tersebut seakan menjadi pil pahit bagi sektor industri TPT di Indonesia. Pada Senin (9/9), Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Ade Sudrajat menyebutkan setidaknya ada sembilan perusahaan tekstil terpaksa menutup usahanya dalam kurun 2018-2019 karena produk kain impor yang membanjir. Kesembilan perusahaan itu terpaksa menyerah dan menutup pabriknya serta merumahkan sekitar 2.000 pekerja.
Ketua Umum API Ade Sudrajat menjelaskan besarnya volume produk impor kain membuat industri tekstil dan produk tekstil (TPT) dalam negeri sulit bersaing karena harga kain impor yang lebih murah. “Tidak ada pilihan lain selain menutup industrinya. Sekarang yang sudah tutup kami catat ada sembilan perusahaan yang hampir mendekati 2.000 orang (pekerja),” kata Ade pada diskusi di Menara Kadin, Jakarta, Senin (9/9). Adapun perusahaan tekstil yang menutup usahanya lebih banyak di sektor menengah, seperti pemintalan, pertenunan, dan rajut.
Sementara pada Minggu (4/10), Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Provinsi Jawa Barat (Jabar) menyatakan dari Januari 2018 hingga September 2019 tercatat ada 188 perusahaan garmen di Provinsi Jabar yang dinyatakan bangkrut dan relokasi dari provinsi ini ke Provinsi Jawa Tengah. Akibat hal itu, sebanyak 68 ribu pekerja terkena pemutusan hubungan kerja (PHK).
"Akibat gulung tikarnya 188 pabrik garmen tersebut sebanyak 68 ribu lebih pegawai terkena PHK," kata Tim Akselerasi Jabar Juara untuk Bidang Ketenakerjaan Disnakertrans Provinsi Jawa Barat Hemasari Dharmabuni.
Hema mengatakan mayoritas perusahaan TPT di Provinsi Jawa Barat yang bangkrut dan relokasi ke wilayah lain karena dibukanya keran impor tekstil dari China. "Dan mayoritas perusahaan garmen di Jabar yang gulung tikar itu berasal di wilayah Majalaya, Kabupaten Bandung," kata dia.
Selain karena dibukanya keran impor tekstil dari China, kata dia, faktor lain yang menyebabkan pabrik garmen di Jabar, khususnya di Majalaya bangkrut karena mereka tidak mampu menyesuaikan diri dengan kemajuan teknologi tekstil.
Sisa Agenda
Sementara itu, Ikatan Ahli Tekstil Seluruh Indonesia (IKATSI) menyebutkan pasca pertemuan dengan Presiden Jokowi pada minggu ketiga September 2019, langkah cepat tanggap darurat penyelamatan industri tekstil nasional menyisakan agenda revisi PERMENDAG 64 tahun 2017. Ketua Umum IKATSI, Suharno Rusdi menyatakan bahwa pihaknya masih melihat kelompok importir pedagang berkedok produsen terlibat aktif dalam melakukan revisi PERMENDAG 64 2017 untuk melindungi aktivitas impor mereka.
Hal ini pun terlihat dari tidak dilibatkannya pihak industri yang saat ini tertekan akibat banjir impor. “Ini revisi hanya dilakukan oleh kelompok yang melahirkan PERMENDAG 64 saja, nanti jadinya sebelas duabelas, revisi hanya formalitas tanpa benar-benar bisa memperbaiki kondisi industri tekstil” tegas Rusdi dalam keterangan tertulis yang diterima Duniaindustri.com.
Satu hal penting yang harus dilakukan oleh pemerintah adalah segera melakukan verifikasi kepada pemegang API-P dan API-U yang melakukan importasi pada periode 2018-2019. “Apabila perusahaan tersebut terbukti menyalahi aturan harus segera di blacklist baik nama perusahaannya maupun nama pemiliknya. Meski agak aneh juga, karena indiksasi pemegang API-P bodong ini sudah ada sebelum 2017, tapi kenapa tetap diberikan rekomendasi impor,” cetus Rusdi.(*/)
Sumber: klik di sini
Hanya berselang satu bulan, dua informasi tersebut seakan menjadi pil pahit bagi sektor industri TPT di Indonesia. Pada Senin (9/9), Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Ade Sudrajat menyebutkan setidaknya ada sembilan perusahaan tekstil terpaksa menutup usahanya dalam kurun 2018-2019 karena produk kain impor yang membanjir. Kesembilan perusahaan itu terpaksa menyerah dan menutup pabriknya serta merumahkan sekitar 2.000 pekerja.
Ketua Umum API Ade Sudrajat menjelaskan besarnya volume produk impor kain membuat industri tekstil dan produk tekstil (TPT) dalam negeri sulit bersaing karena harga kain impor yang lebih murah. “Tidak ada pilihan lain selain menutup industrinya. Sekarang yang sudah tutup kami catat ada sembilan perusahaan yang hampir mendekati 2.000 orang (pekerja),” kata Ade pada diskusi di Menara Kadin, Jakarta, Senin (9/9). Adapun perusahaan tekstil yang menutup usahanya lebih banyak di sektor menengah, seperti pemintalan, pertenunan, dan rajut.
Sementara pada Minggu (4/10), Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Provinsi Jawa Barat (Jabar) menyatakan dari Januari 2018 hingga September 2019 tercatat ada 188 perusahaan garmen di Provinsi Jabar yang dinyatakan bangkrut dan relokasi dari provinsi ini ke Provinsi Jawa Tengah. Akibat hal itu, sebanyak 68 ribu pekerja terkena pemutusan hubungan kerja (PHK).
"Akibat gulung tikarnya 188 pabrik garmen tersebut sebanyak 68 ribu lebih pegawai terkena PHK," kata Tim Akselerasi Jabar Juara untuk Bidang Ketenakerjaan Disnakertrans Provinsi Jawa Barat Hemasari Dharmabuni.
Hema mengatakan mayoritas perusahaan TPT di Provinsi Jawa Barat yang bangkrut dan relokasi ke wilayah lain karena dibukanya keran impor tekstil dari China. "Dan mayoritas perusahaan garmen di Jabar yang gulung tikar itu berasal di wilayah Majalaya, Kabupaten Bandung," kata dia.
Selain karena dibukanya keran impor tekstil dari China, kata dia, faktor lain yang menyebabkan pabrik garmen di Jabar, khususnya di Majalaya bangkrut karena mereka tidak mampu menyesuaikan diri dengan kemajuan teknologi tekstil.
Sisa Agenda
Sementara itu, Ikatan Ahli Tekstil Seluruh Indonesia (IKATSI) menyebutkan pasca pertemuan dengan Presiden Jokowi pada minggu ketiga September 2019, langkah cepat tanggap darurat penyelamatan industri tekstil nasional menyisakan agenda revisi PERMENDAG 64 tahun 2017. Ketua Umum IKATSI, Suharno Rusdi menyatakan bahwa pihaknya masih melihat kelompok importir pedagang berkedok produsen terlibat aktif dalam melakukan revisi PERMENDAG 64 2017 untuk melindungi aktivitas impor mereka.
Hal ini pun terlihat dari tidak dilibatkannya pihak industri yang saat ini tertekan akibat banjir impor. “Ini revisi hanya dilakukan oleh kelompok yang melahirkan PERMENDAG 64 saja, nanti jadinya sebelas duabelas, revisi hanya formalitas tanpa benar-benar bisa memperbaiki kondisi industri tekstil” tegas Rusdi dalam keterangan tertulis yang diterima Duniaindustri.com.
Satu hal penting yang harus dilakukan oleh pemerintah adalah segera melakukan verifikasi kepada pemegang API-P dan API-U yang melakukan importasi pada periode 2018-2019. “Apabila perusahaan tersebut terbukti menyalahi aturan harus segera di blacklist baik nama perusahaannya maupun nama pemiliknya. Meski agak aneh juga, karena indiksasi pemegang API-P bodong ini sudah ada sebelum 2017, tapi kenapa tetap diberikan rekomendasi impor,” cetus Rusdi.(*/)
Sumber: klik di sini
Mari Simak Coverage Riset Data Spesifik Duniaindustri.com:
Market database
* Butuh data spesifik atau riset pasar, total ada 174 database, klik di sini
Manufacturing data
Market research data
Market leader data
Market investigation
Market observation
Market intelligence
Monitoring data
Market Survey/Company Survey
Multisource compilation data
Market domestic data
Market export data
Market impor data
Market directory database
Competitor profilling
Market distribution data
Company database/directory
Mapping competition trend
Profiling competitor strategy
Market data analysist
Historical data
Time series data
Tabulation data
Factory directory database
Market segmentation data
Market entry strategy analysist
Big data processor
Financial Modeling/Feasibility Study
Price trend analysist
Data business intelligence
Annual report
** Butuh competitor intelligence, klik di sini
*** Butuh copywriter specialist, klik di sini
**** Butuh content provider (branding online), klik di sini
***** Butuh jasa medsos campaign, klik di sini
Database Riset Data Spesifik Lainnya:
- Butuh data spesifik atau riset pasar, total ada 174 database, klik di sini
- Butuh 23 Kumpulan Database Otomotif, klik di sini
- Butuh 18 Kumpulan Riset Data Kelapa Sawit, klik di sini
- Butuh 15 Kumpulan Data Semen dan Beton, klik di sini
- Butuh 8 Kumpulan Riset Data Baja, klik di sini
- Butuh 15 Kumpulan Data Transportasi dan Infrastruktur, klik di sini
- Butuh 9 Kumpulan Data Makanan dan Minuman, klik di sini
- Butuh 6 Kumpulan Market Analysis Industri Kimia, klik di sini
- Butuh 3 Kumpulan Data Persaingan Pasar Kosmetik, klik di sini
- Butuh competitor intelligence ataupun riset khusus (survei & observasi), klik di sini
- Butuh copywriter specialist, klik di sini
- Butuh content provider (online branding), klik di sini
- Butuh market report dan market research, klik di sini
- Butuh perusahaan konsultan marketing dan penjualan, klik di sini
Komentar
Posting Komentar