Sektor industri di Indonesia
diperkirakan menyerap 48% dari total kebutuhan listrik nasional pada
2000-2014. Menurut Ketua Pokja Pengkajian Energi Ikatan Alumni (Iluni)
Universitas Indonesia (UI) Ali Ahmudi, kebutuhan energi (termasuk
listrik) untuk sektor industri terus mengalami peningkatan.
"Ketercukupan pasokan listrik untuk kawasan industri merupakan hal strategis dan perlu mendapatkan perhatian dan penanganan serius," ujar Ali.
Dia menjelaskan konsumsi energi final tertinggi pada periode 2000-2014 terjadi pada sektor industri (48%), diikuti rumah tangga dan tranportasi (25%), rumah tangga (11%), serta yang paling rendah adalah komersial (4%) dan lainnya (2%).
Skenario dasar maupun skenario tinggi, pangsa konsumsi energi sektor industri meningkat dari 45% di tahun 2014 dan menjadi 49% di tahun 2050, sedangkan pangsa konsumsi energi sektor transportasi meningkat dari 36% pada tahun 2014 menjadi 39% untuk skenario dasar dan menjadi 40% untuk skenario tinggi pada tahun 2050. Kebutuhan energi untuk sektor industri akan terus meningkat hingga tahun 2050 dan seterusnya.
Guliran program pengadaan listrik 35.000 MW oleh pemerintah menjadi harapan besar yang layak mendapatkan apresiasi dan dukungan semua pihak.
Namun, menurut Ali, program tersebut terkendala kebutuhan dana investasi yang sangat besar, kisarannya Rp 1.100 triliun. PLN mencoba mandiri membangun pembangkit sebesar 10.000 MW, sedangkan sisanya 25.000 MW ditawarkan ke pihak swasta (IPP= Independent Power Producer).
PLN terikat kewajiban PSO (Public Service Officer), maka strategi PLN untuk berbagi investasi dan risiko tersebut tentunya mengandung plus/minus. Dalam kondisi saat ini, sepertinya hal itu yang paling rasional demi mengejar percepatan penyediaan listrik nasional.
Data dan proyeksi BPPT (2016) memberikan gambaran kebutuhan energi (khususnya listrik) dalam jangka panjang hingga 2050. Laju pertumbuhannya cukup tinggi (rerata 5,8% per tahun) membutuhkan pengembangan dan pembangunan pembangkit listrik baru untuk menopang industri.
Salah satu upaya untuk mempercepat realisasi pencapaian target penyediaan listrik sebesar 35.000 MW adalah pengembangan pembangkit listrik terintegrasi kawasan industri.
"Sinergi antara PT PLN dan produsen listrik swasta diperlukan guna mengejar target pengadaan pembangkit listrik 35 ribu megawatt (MW) pada 2019," ujar Ali Ahmudi.
"Jangan ada lagi stigma kontestasi antara PLN dan produsen listrik swasta," kata Ali Ahmudi.
Ali Ahmudi mengatakan pada awal pencanangan memang sekitar 80 persen proyek pembangkit 35.000 MW akan dibiayai anggaran negara. Namun faktanya saat ini lebih dari 60 persen proyek 35.000 MW berasal dari swasta.
Oleh karena itu, PLN seharusnya tidak menjadikan produsen listrik swasta (IPP) sebagai saingan, tetapi lebih kepada mitra usaha yang perlu bersinergi mengejar target proyek 35.000 MW.
Ali juga menyoroti inkonsistensi di kalangan regulator teknis yang sebenarnya menjadi pembantu Presiden Jokowi dalam mewujudkan target pemerintah. Hal itu terlihat saat Presiden Jokowi yang berupaya mengundang secara luas partisipasi swasta dalam mendukung program 35.000 MW.
Namun di sisi lain Kementerian ESDM dan PLN justru terkesan membatasi peran swasta dengan adanya regulasi denda bagi pembangkit listrik swasta serta tertundanya PPA pembangkit listrik Jawa I dan PPA pembangkit listrik untuk kawasan industri Kendal.
"Jadi kalau pemerintah mengharapkan swasta menjadi tulang punggung program kelistrikan nasional maka seharusnya pemerintah memberikan jalan tol ke swasta untuk merealisasikan hal itu," katanya.
Ali Ahmudi mengingatkan bahwa listrik merupakan infrastruktur penting dalam mendukung pertumbuhan ekonomi, mendorong investasi, pemerataan industri yang berdampak lanjutan bagi penciptaan lapangan kerja dan ekonomi daerah.
Anggota Dewan Energi Nasional (DEN), Syamsir Abduh menyampaikan target pembangkit listrik sesuai Peraturan Presiden (PP) Nomor 79 Tahun 2011 tentang Kebijakan Energi Nasional (KEN) diantaranya terpenuhinya kapasitas pembangkit listrik pada tahun 2025 sebesar 115 gigawatt (GW) dan pada tahun 2030 sebesar 430 GW.
Sementara untuk program kelistrikan 35.000 MW, menurut Syamsir, tidak disebutkan secara eksplisit dalam KEN.
"Kebijakan nasional harus terintegrasi. Tugas IPP kan membangun pembangkit, tapi kalau transmisinya belum selesai, bagaimana? Itu menjadi tanggung jawab pemerintah dan PLN. Leadership commitment sangat perlu," tandas Syamsir.(*)
Sumber: di sini
* Butuh data dan riset pasar industri, klik di sini
** Butuh request pencarian data spesifik, klik di sini
"Ketercukupan pasokan listrik untuk kawasan industri merupakan hal strategis dan perlu mendapatkan perhatian dan penanganan serius," ujar Ali.
Dia menjelaskan konsumsi energi final tertinggi pada periode 2000-2014 terjadi pada sektor industri (48%), diikuti rumah tangga dan tranportasi (25%), rumah tangga (11%), serta yang paling rendah adalah komersial (4%) dan lainnya (2%).
Skenario dasar maupun skenario tinggi, pangsa konsumsi energi sektor industri meningkat dari 45% di tahun 2014 dan menjadi 49% di tahun 2050, sedangkan pangsa konsumsi energi sektor transportasi meningkat dari 36% pada tahun 2014 menjadi 39% untuk skenario dasar dan menjadi 40% untuk skenario tinggi pada tahun 2050. Kebutuhan energi untuk sektor industri akan terus meningkat hingga tahun 2050 dan seterusnya.
Guliran program pengadaan listrik 35.000 MW oleh pemerintah menjadi harapan besar yang layak mendapatkan apresiasi dan dukungan semua pihak.
Namun, menurut Ali, program tersebut terkendala kebutuhan dana investasi yang sangat besar, kisarannya Rp 1.100 triliun. PLN mencoba mandiri membangun pembangkit sebesar 10.000 MW, sedangkan sisanya 25.000 MW ditawarkan ke pihak swasta (IPP= Independent Power Producer).
PLN terikat kewajiban PSO (Public Service Officer), maka strategi PLN untuk berbagi investasi dan risiko tersebut tentunya mengandung plus/minus. Dalam kondisi saat ini, sepertinya hal itu yang paling rasional demi mengejar percepatan penyediaan listrik nasional.
Data dan proyeksi BPPT (2016) memberikan gambaran kebutuhan energi (khususnya listrik) dalam jangka panjang hingga 2050. Laju pertumbuhannya cukup tinggi (rerata 5,8% per tahun) membutuhkan pengembangan dan pembangunan pembangkit listrik baru untuk menopang industri.
Salah satu upaya untuk mempercepat realisasi pencapaian target penyediaan listrik sebesar 35.000 MW adalah pengembangan pembangkit listrik terintegrasi kawasan industri.
"Sinergi antara PT PLN dan produsen listrik swasta diperlukan guna mengejar target pengadaan pembangkit listrik 35 ribu megawatt (MW) pada 2019," ujar Ali Ahmudi.
"Jangan ada lagi stigma kontestasi antara PLN dan produsen listrik swasta," kata Ali Ahmudi.
Ali Ahmudi mengatakan pada awal pencanangan memang sekitar 80 persen proyek pembangkit 35.000 MW akan dibiayai anggaran negara. Namun faktanya saat ini lebih dari 60 persen proyek 35.000 MW berasal dari swasta.
Oleh karena itu, PLN seharusnya tidak menjadikan produsen listrik swasta (IPP) sebagai saingan, tetapi lebih kepada mitra usaha yang perlu bersinergi mengejar target proyek 35.000 MW.
Ali juga menyoroti inkonsistensi di kalangan regulator teknis yang sebenarnya menjadi pembantu Presiden Jokowi dalam mewujudkan target pemerintah. Hal itu terlihat saat Presiden Jokowi yang berupaya mengundang secara luas partisipasi swasta dalam mendukung program 35.000 MW.
Namun di sisi lain Kementerian ESDM dan PLN justru terkesan membatasi peran swasta dengan adanya regulasi denda bagi pembangkit listrik swasta serta tertundanya PPA pembangkit listrik Jawa I dan PPA pembangkit listrik untuk kawasan industri Kendal.
"Jadi kalau pemerintah mengharapkan swasta menjadi tulang punggung program kelistrikan nasional maka seharusnya pemerintah memberikan jalan tol ke swasta untuk merealisasikan hal itu," katanya.
Ali Ahmudi mengingatkan bahwa listrik merupakan infrastruktur penting dalam mendukung pertumbuhan ekonomi, mendorong investasi, pemerataan industri yang berdampak lanjutan bagi penciptaan lapangan kerja dan ekonomi daerah.
Anggota Dewan Energi Nasional (DEN), Syamsir Abduh menyampaikan target pembangkit listrik sesuai Peraturan Presiden (PP) Nomor 79 Tahun 2011 tentang Kebijakan Energi Nasional (KEN) diantaranya terpenuhinya kapasitas pembangkit listrik pada tahun 2025 sebesar 115 gigawatt (GW) dan pada tahun 2030 sebesar 430 GW.
Sementara untuk program kelistrikan 35.000 MW, menurut Syamsir, tidak disebutkan secara eksplisit dalam KEN.
"Kebijakan nasional harus terintegrasi. Tugas IPP kan membangun pembangkit, tapi kalau transmisinya belum selesai, bagaimana? Itu menjadi tanggung jawab pemerintah dan PLN. Leadership commitment sangat perlu," tandas Syamsir.(*)
Sumber: di sini
* Butuh data dan riset pasar industri, klik di sini
** Butuh request pencarian data spesifik, klik di sini
Komentar
Posting Komentar